NI KETUT BUDIARTINI
3PA01/14510946
A. Pengertian Behavioral Therapy
Terapi tingkah laku adalah pendekatan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berlandaskan pada berbagai teori tentang belajar dalam usaha melakukan pengubahan tingkah laku. Dalam penyelesaian masalah, kondisi masalah harus dispesifikkan. Saat ini, bentuk pendekatan ini banyak di gunakan karena penekanannya pada perubahan tingkah laku dimana tingkah laku tersebut bisa didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur.
B. Tujuan Behavioral Therapy
Menghapus pola tingkah laku maladaptive atau maladjustment, membantu balajar tingkah laku konstruktif, merubah tingkah laku.
C. Fungsi dan Peran Terapis
Terapis merumuskan tujuan pengobatan awal dan desain dan mengimplementasikan rencana perawatan untuk mencapai tujuan tersebut. Para terapis menggunakan strategi behavior yang memiliki dukungan penelitian untuk digunakan dengan jenis tertentu dari masalah. Strategi-strategi ini digunakan untuk kemajuan generalisasi dan pemeliharaan perubahan perilaku. Terapis mengevaluasi keberhasilan rencana perubahan dengan mengukur kemajuan menuju tujuan sepanjang durasi pengobatan. Ukuran hasil yang diberikan kepada klien pada awal pengobatan dan dikumpulkan lagi secara periodik selama dan setelah perawatan untuk menentukan apakah rencana strategi dan pengobatan bekerja. Jika tidak, penyesuaian dilakukan dalam strategi yang digunakan. Tugas utama terapis adalah untuk melakukan tindak lanjut penilaian untuk melihat apakah perubahan yang tahan lama dari waktu ke waktu. Klien belajar bagaimana mengidentifikasi dan mengatasi kemunduran potensial. Penekanannya adalah pada membantu klien mempertahankan perubahan dari waktu ke waktu dan memperoleh keterampilan mengatasi perilaku dan kognitif untuk mencegahnya kambuh.
D. Hubungan Klien dalam Terapi
Bukti klinis dan penelitian menunjukkan bahwa hubungan terapeutik, bahkan dalam konteks orientasi perilaku, dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses perubahan perilaku. Kebanyakan praktisi behavior menekankan nilai membangun hubungan kerja kolaboratif. Para terapis behavior terampil mengkonseptualisasikan masalah perilaku dan memanfaatkan hubungan klien-terapis dalam memfasilitasi perubahan. Sebagian besar praktisi behavior berpendapat bahwa faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keaslian, permisif, dan penerimaan diperlukan, tetapi tidak cukup, untuk perubahan perilaku terjadi. Terapis behavior berasumsi bahwa klien membuat kemajuan terutama karena teknik perilaku khusus yang digunakan bukan karena hubungan dengan terapis.
E. Penerapan Terapi : Teknik dan Prosedur
1. Training Relaksasi, merupakan teknik untuk menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, yang mana seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik, tekanan darah tinggi dan masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan metode ini sebagai relaksasi otot dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta rileks dan mengambil posisi pasif dalam lingkungannya sambil mengerutkan dan merilekskan otot secara bergantian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menarik nafas yang dalam dan teratur sambil membanyangkan hal-hal yang menyenangkan.
2. Desensitisasi Sistemik, merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat diterapkan pada penanganan situasi penghasil kecemasan seperti situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik serta impotensi dan frigiditas seksual. Teknik ini melibatkan relaksasi dimana klien dilatih untuk santai dan keadaan-keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan tersebut terhapus.
3. Latihan Asertif, merupakan teknik terapi yang menggunakan prosedur-prosedur permainan peran dalam terapi. Latihan asertif ini akan membantu bagi orang-orang yang:
• Tidak mampu mengungkapkan kemarahan/perasaan tersinggung
• Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
• Memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’.
• Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya.
• Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Fokus terapi ini adalah mempraktekkan kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui permainan peran sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara terbuka disertai kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
4. Pencontohan (modelling methods), melalui proses pembelajaran observasi, para klien dapat belajar untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan tanpa proses belajar trial-and-error. Teknik dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku. Contohnya, seseorang yang takut ular, maka ketakutannya dapat dihilangkan atau direduksi dengan melihat orang lain yang tidak takut menghadapi ular.
5. Self-Management Programs, Teknik ini mencoba menyatukan unsur kognitif dalam proses perubahan perilaku, dengan asumsi bahwa klienlah yang paling tau apa yang mereka butuhkan. Konselor yang mempertimbangkan apakah sesi terapi berjalan baik atau tidak, disini konselor merupakan mediator.
- Self-Directed Behavior, merupakan teknik dimana perubahan perilaku diarahkan pada diri klien itu sendiri. Klienlah harus merasa bahwa terapi ini penting untuk mengatasi masalahnya. Contohnya, dalam masalah obesitas. Hal yang dapat dilakukan yaitu misalnya meminta klien untuk menuliskan program perubahan dirinya dalam diari. Jam berapa dan berapa kali ia akan makan. Jika ia tidak berhasil, ia harus menuliskan perasaan dan sebab-sebab hal tersebut didalam diarinya. Atau jika program telah dijalankan, klien dapat memberikan hadiah untuk dirinya sendiri misalnya pergi shopping.
6. Multimodal Terapi, didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan klien selama terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami masalah lamanya. Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior, affective respons, sensations, images, cognitions, interpersonal relationships, dan drugs/biology).
F. Kelebihan Behavioral Therapy
1. Pembuatan tujuan terapi antara konselor dan konseli di awal konseli dan itu dijadikan acuan keberhasilan proses terapi
2. Memiliki berbagai macam teknik konseling yang teruji dan selalu diperbaharui
3. Waktu konseling relatif singkat
4. Kolaborasi yang baik antara konselor dan konseli dalam penetapan tujuan dan pemilihan teknik
G. Kekurangan Behavioral Therapy
1. Dapat mengubah perilaku tetapi tidak mengubah perasaan
2. Mengabaikan faktor relasional penting dalam terapi
3. Tidak memberikan wawasan
4. Mengobati gejala dan bukan penyebab
5. Melibatkan kontrol dan manipulasi oleh konselor
Kritikan untuk terapi tingkah laku:
1. Terapi tingkah laku tidak menangani penyebab-penyebab, tetapi lebih manangani ke gejala-gejala.
2. Terapi tingkah laku tidak diterapkan pada orang yang taraf berfungsinya relatif tinggi.
3. Terapi tingkah laku bisa diterapkan hanya pada kecemasan-kecemasan yang spesifik, fobia-fobia dan masalah-masalah yang terbatas.
4. Modifikasi tingkah laku tidak berfungsi.
5. Modifikasi tingkah laku bekerja “terlalu baik”.
6. Terapi tingkah laku bisa mengubah tingkah laku, tetapi tidak mengubah perasaan-perasaan.
7. Terapi tingkah laku mengabaikan pentingnya hubungan terapis klien dalam terapis.
8. Terapi tingkah laku tidak memberikan insight. Karena seringnya, terapi perilaku tidak fokus pada masa lalu klien sehingga seringnya terapis tidak membahasnya meskipun sebenarnya terapis mengetahui masalah tersebut.
9. Terapi tingkah laku mengabaikan penyebab-penyebab historis dari tingkah laku sekarang.
Referensi :
Corey G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.
W.S. Winkel, Bimbingan Konseling di Institusi Pendidikan,(Yogyakarta: PT. Grasindo Persada, 1988), h. 87
Gerald Corey, Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika Aditama, 1997), h. 196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar