Senin, 29 April 2013

Behavioral Therapy (Carl Rogers)

NI KETUT BUDIARTINI
3PA01/14510946

A. Pengertian Behavioral Therapy
Terapi tingkah laku adalah pendekatan penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berlandaskan pada berbagai teori tentang belajar dalam usaha melakukan pengubahan tingkah laku. Dalam penyelesaian masalah, kondisi masalah harus dispesifikkan. Saat ini, bentuk pendekatan ini banyak di gunakan karena penekanannya pada perubahan tingkah laku dimana tingkah laku tersebut bisa didefinisikan secara operasional, diamati dan diukur.

B. Tujuan Behavioral Therapy
Menghapus pola tingkah laku maladaptive atau maladjustment, membantu balajar tingkah laku konstruktif, merubah tingkah laku.

C. Fungsi dan Peran Terapis
Terapis merumuskan tujuan pengobatan awal dan desain dan mengimplementasikan rencana perawatan untuk mencapai tujuan tersebut. Para terapis menggunakan strategi behavior yang memiliki dukungan penelitian untuk digunakan dengan jenis tertentu dari masalah. Strategi-strategi ini digunakan untuk kemajuan generalisasi dan pemeliharaan perubahan perilaku. Terapis mengevaluasi keberhasilan rencana perubahan dengan mengukur kemajuan menuju tujuan sepanjang durasi pengobatan. Ukuran hasil yang diberikan kepada klien pada awal pengobatan dan dikumpulkan lagi secara periodik selama dan setelah perawatan untuk menentukan apakah rencana strategi dan pengobatan bekerja. Jika tidak, penyesuaian dilakukan dalam strategi yang digunakan. Tugas utama terapis adalah untuk melakukan tindak lanjut penilaian untuk melihat apakah perubahan yang tahan lama dari waktu ke waktu. Klien belajar bagaimana mengidentifikasi dan mengatasi kemunduran potensial. Penekanannya adalah pada membantu klien mempertahankan perubahan dari waktu ke waktu dan memperoleh keterampilan mengatasi perilaku dan kognitif untuk mencegahnya kambuh.

D. Hubungan Klien dalam Terapi
Bukti klinis dan penelitian menunjukkan bahwa hubungan terapeutik, bahkan dalam konteks orientasi perilaku, dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses perubahan perilaku. Kebanyakan praktisi behavior menekankan nilai membangun hubungan kerja kolaboratif. Para terapis behavior terampil mengkonseptualisasikan masalah perilaku dan memanfaatkan hubungan klien-terapis dalam memfasilitasi perubahan. Sebagian besar praktisi behavior berpendapat bahwa faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keaslian, permisif, dan penerimaan diperlukan, tetapi tidak cukup, untuk perubahan perilaku terjadi. Terapis behavior berasumsi bahwa klien membuat kemajuan terutama karena teknik perilaku khusus yang digunakan bukan karena hubungan dengan terapis.

E. Penerapan Terapi : Teknik dan Prosedur
1. Training Relaksasi, merupakan teknik untuk menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, yang mana seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik, tekanan darah tinggi dan masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan metode ini sebagai relaksasi otot dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta rileks dan mengambil posisi pasif dalam lingkungannya sambil mengerutkan dan merilekskan otot secara bergantian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menarik nafas yang dalam dan teratur sambil membanyangkan hal-hal yang menyenangkan.
2. Desensitisasi Sistemik, merupakan teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat diterapkan pada penanganan situasi penghasil kecemasan seperti situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik serta impotensi dan frigiditas seksual. Teknik ini melibatkan relaksasi dimana klien dilatih untuk santai dan keadaan-keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan tersebut terhapus.
3. Latihan Asertif, merupakan teknik terapi yang menggunakan prosedur-prosedur permainan peran dalam terapi. Latihan asertif ini akan membantu bagi orang-orang yang:
• Tidak mampu mengungkapkan kemarahan/perasaan tersinggung
• Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
• Memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’.
• Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya.
• Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Fokus terapi ini adalah mempraktekkan kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui permainan peran sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara terbuka disertai kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
4. Pencontohan (modelling methods), melalui proses pembelajaran observasi, para klien dapat belajar untuk melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan tanpa proses belajar trial-and-error. Teknik dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku. Contohnya, seseorang yang takut ular, maka ketakutannya dapat dihilangkan atau direduksi dengan melihat orang lain yang tidak takut menghadapi ular.
5. Self-Management Programs, Teknik ini mencoba menyatukan unsur kognitif dalam proses perubahan perilaku, dengan asumsi bahwa klienlah yang paling tau apa yang mereka butuhkan. Konselor yang mempertimbangkan apakah sesi terapi berjalan baik atau tidak, disini konselor merupakan mediator.
- Self-Directed Behavior, merupakan teknik dimana perubahan perilaku diarahkan pada diri klien itu sendiri. Klienlah harus merasa bahwa terapi ini penting untuk mengatasi masalahnya. Contohnya, dalam masalah obesitas. Hal yang dapat dilakukan yaitu misalnya meminta klien untuk menuliskan program perubahan dirinya dalam diari. Jam berapa dan berapa kali ia akan makan. Jika ia tidak berhasil, ia harus menuliskan perasaan dan sebab-sebab hal tersebut didalam diarinya. Atau jika program telah dijalankan, klien dapat memberikan hadiah untuk dirinya sendiri misalnya pergi shopping.
6. Multimodal Terapi, didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan klien selama terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami masalah lamanya. Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior, affective respons, sensations, images, cognitions, interpersonal relationships, dan drugs/biology).

F. Kelebihan Behavioral Therapy
1. Pembuatan tujuan terapi antara konselor dan konseli di awal konseli dan itu dijadikan acuan keberhasilan proses terapi
2. Memiliki berbagai macam teknik konseling yang teruji dan selalu diperbaharui
3. Waktu konseling relatif singkat
4. Kolaborasi yang baik antara konselor dan konseli dalam penetapan tujuan dan pemilihan teknik

G. Kekurangan Behavioral Therapy
1. Dapat mengubah perilaku tetapi tidak mengubah perasaan
2. Mengabaikan faktor relasional penting dalam terapi
3. Tidak memberikan wawasan
4. Mengobati gejala dan bukan penyebab
5. Melibatkan kontrol dan manipulasi oleh konselor

Kritikan untuk terapi tingkah laku:
1. Terapi tingkah laku tidak menangani penyebab-penyebab, tetapi lebih manangani ke gejala-gejala.
2. Terapi tingkah laku tidak diterapkan pada orang yang taraf berfungsinya relatif tinggi.
3. Terapi tingkah laku bisa diterapkan hanya pada kecemasan-kecemasan yang spesifik, fobia-fobia dan masalah-masalah yang terbatas.
4. Modifikasi tingkah laku tidak berfungsi.
5. Modifikasi tingkah laku bekerja “terlalu baik”.
6. Terapi tingkah laku bisa mengubah tingkah laku, tetapi tidak mengubah perasaan-perasaan.
7. Terapi tingkah laku mengabaikan pentingnya hubungan terapis klien dalam terapis.
8. Terapi tingkah laku tidak memberikan insight. Karena seringnya, terapi perilaku tidak fokus pada masa lalu klien sehingga seringnya terapis tidak membahasnya meskipun sebenarnya terapis mengetahui masalah tersebut.
9. Terapi tingkah laku mengabaikan penyebab-penyebab historis dari tingkah laku sekarang.


Referensi :
Corey G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.

W.S. Winkel, Bimbingan Konseling di Institusi Pendidikan,(Yogyakarta: PT. Grasindo Persada, 1988), h. 87

Gerald Corey, Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika Aditama, 1997), h. 196

Selasa, 23 April 2013

Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif

Nama : Ni Ketut Budiartini
Kelas : 3PA01
NPM : 14510946


1. Pengertian Terapi
Istilah Terapi Emotif Rasional (TRE / RET---Rational Emotion Therapy) sukar digantikan dengan istilah bahasa Indonesia yang mengena; paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dan akal sehat (rational thingking, berperasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Maka, orang yang mengalami gangguan dalam alam perasaannya, harus dibantu untuk meninjau kembali cara berpikir dan memanfaatkan akal sehat.
Pelopor dalam sekaligus promoter utama corak konseling ini adalah Albert Ellis, yang telah banyak menerbitkan banyak karangan dan buku, antara lain buku yang berjudul Reason and Emotion in Psychotherapy (1962), A New Guide to Rational Living (1975), serta karangan Burks Theories of Counselling yang berjudul The Rational Emotive Approach to Counselling dalam buku Burks Theories of Counselling (1979).
Menurut pengakuannya Ellis sendiri, corak konseling Rational Emotive Terapi (disingkat RET) berasal dari aliran pendekatan Kognitif Behavioristik. Banyak buku yang telah terbit mengenai tata cara memberikan konseling kepada diri sendiri, mengambil inspirasi dari gerakan RET, misalnya J. Lembo, Help Yourself, yang telah disadur pula kedalam bahasa Indonesia dengan judul Berusahalah Sendiri (1980).
Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat psikologis, yaitu:
a. Manusia adalah mahluk yang manusiawi, artinya dia bukan superman dan juga bukan mahluk yang kurang dari seorang manusia. Manusia mempunyai kekurangan dan keterbatasan, yang mereka atasi sampai taraf tertentu. Selama manusia hidup di dunia ini, dia harus berusaha untuk menikmatinya sebaik mungkin.
b. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau pembawaan, tetapi sekaligus juga tergantung dari pilihan-pilihan yang dibuat sendiri. Nilai-nilai kehidupan (values) untuk sebagian ditentukan baginya.
c. Hidup secara rasional berarti berpikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup dapat dicapai secara efisien dan efektif. Bilamana orang berpikir, berperasaan dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga segala tujuan yang dikejar tidak tercapai, mereka ini hidup secara tidak rasional. Dengan demikian berpikir rasional menunjuk pada akal sehat, sehingga sungguh-sungguh membantu mencapai kebahagiaan di hidup ini. Orang yang tidak mencapai kebahagian itu harus mempersalahkan dirinya sendiri karena tidak menggunakan akal sehatnya secara semestinya.
d. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional dan sekaligus untuk hidup secara tidak rasional. Dia dapat berpikir dengan akal sehat, tetapi dapat juga berpikir salah.
e. Orang kerap berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal atau irrasional (irationalbeliefs), yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau diciptakan sendiri. Mungkin juga keyakinan-keyakinan itu merupakan gabungan dari pengaruh lingkungan sosial dan gagasannya sendiri. Tumpukan keyakinan irasional cenderung untuk bertahan lama, bahkan orang cenderung memperkuatnya sendiri dengan berbagai dalih. Albert Ellis sendiri mengakui mula-mula merumuskan 11 keyakinan irasional yang dianggapnya dipegang oleh banyak orang, tetapi kemudian ditinjau kembali. Jumlah itu dikurangi sampai tiga keyakinan dasar yang irasional, yaitu tiga keharusan yang disampaikan oleh orang kepada dirinya sendiri:
Teapi Emotif Rasional yang dikembangkan oleh Albert Ellis merupakan bagian dari terapi CBT (cognitive behavioral therapy) lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitif-tingkah laku-tindakan dalam arti menitik beratkan pada proses berpikir, menilai, memuuskan, menganalisa dan bertindak. Konsep-konsep Teapi Emotif Rasional membangkitkan sejumlah pertanyaan yang sebaiknya, seperti: Apakah pada dasarnya psikoterapi merupakan proses reduksi? Apakah sebaiknya terapis berfungsi terutama sebagai guru? Apakah pantas para terapis menggunakan propaganda, persuasi, dan saran-saran yang sangat direktif? Sampai mana membebaskan keefektifan usaha membebaskan para klien dari “keyakinan-keyakinan irasional” nya dengan menggunakan logika, nasihat, informasi, dan penafsiran-penafsiran.
Teapi Emotif Rasional adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan –kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualkan diri. Akan tetapi manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan yang tidak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungional dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event, Belief, dan Emotional consequence. Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

2. Tujuan Terapi Emotif Rasional
Tujuan utama dari terapi ini yaitu meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik. Terapi ini mendorong suatu reevaluasi filosofis dan ideologis berlandaskan asumsi bahwa masalah-masalah manusia berakar secara filosofis, dengan demikian Terapi Emotif Rasional tidak diarahkan semata-mata pada penghapusan gejala (Ellis, 1967, hlm, 85;1973a, hlm. 172), tetapi untuk mendorong klien agar menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar. Jika masalah yang dihadirkan oleh klien adalah ketakutan atas kegagalan dalam perkawinan misalnya, maka sasaran yang dituju oleh seorang terapis bukan hanya pengurangan ketakutan yang spesifik itu, melainkan penanganan atas rasa takut gagal pada umumnya. TRE bergerak ke seberang penghapusan gejala, dalam arti tujuan utama.
Ringkasnya, proses terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan suatu maksud utama yaitu: membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasikan suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasikan keyakinan-keyakinan dogmatis yang irasional dan takhayul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.
Untuk mencapai tujuan-tujuan diatas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik. Langkah pertama adalah menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukan banyak “keharusan”, “sebaiknya”, dan “semestinya”. Klien harus belajar memisahkan keyakinan-keyakinannya yang rasional dari keyakinan-keyakinan irasionalnya. Agar klien mencapai kesadaran, terapis berfungsi sebagai kontrapropogandis yang menentang propaganda yang mengalahkan diri yang oleh klien pada mulanya diterima tanpa ragu sebagai kebenaran. Terapis mendorong, membujuk, dan suatu saat bahkan memerintah klien agar agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan bertindak sebagai agen-agen kontra propoganda.
Langkah kedua adalah membawa klien ke-seberang tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berpikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri dan yang mengekalkan pengaruh masa kanak-kanak. Dengan perkataan lain, karena klien tetap mereindoktrinasi diri, maka dia bertanggung jawab atas masalah-masalahnya sendiri. Terapis tidak hanya cukup menunjukkan kepada klien bahwa Dia memiliki proses-proses yang tidak logis, sebab klien cenderung mengatakan, ”sekarang saya mengerti bahwa saya memiliki ketakutan akan kegagalan dan bahwa ketakutan ini berlebihan dan tidak realistis”.
Untuk melangkah ke seberang pengakuan klien atas pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan irasionalnya, terapis mengambil langkah ketiga, yakni berusaha agar klien memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan-gagasan irasionalnya. TRE berasumsi bahwa keyakinan-keyakinan yang tidak logis itu berakar dalam sehingga biasanya klien tidak bersedia mengubahnya sendiri. Terapis harus membantu klien untuk memahami hubungan antara gagasan-gagasan yang mengalahkan diri dan filsafat-filsafatnya yang tidak realistis yang menjurus pada lingkaran setan proses penyalahan diri. Jadi langkah terakhir dari proses terapeutik adalah menantang klien untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang irasional.
Menangani masalah-maslah atau gejala-gejala yang spesifik saja tidak menjamin bahwa masalah-masalah lain tidak akan muncul. Yang kemudian diharapkan adalah terapis menyerang inti pikiran irasional dan mengajari klien bagaimana menggantikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang irasional dengan yang rasional.
Terapis yang bekerja dalam kerangka TRE fungsinya berbeda dengan kebanyakan terapis yang lebih konvensional. Karena TRE pada dasarnya adalah suatu proses terapeutik kognitif dan behavioral yang aktif dan direktif. TRE adalah suatu proses edukatif, dan tugas utama terapis adalah mengajari klien cara-cara memahami dan mengubah diri. Terapis terutama menggunakan metodologi yang gencar, sangat direktif, dan persuasif yang menekankan aspek-aspek kognitif. Rllis (1973ª,hlm.185) memberikan suatu gambaran tentang apa yang dilakukan oleh terapis TRE sebagai berikut:
a. Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku;
b. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasanya;
c. Menunjukkkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya;
d. Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien;
e. Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan;
f. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien;
g. Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris;
h. Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara berpikir sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang dapat merusak diri.

3. Penerapan Teknik-Teknik Dan Prosedur-Prosedur Terapeutik Rasional Emotif
TRE memberikan keleluasaan kepada pempraktek untuk menjadi eklektik. Sebagian besar sistem psikoterapi mengandaikan suatu kondisi tunggal yang diperlukan bagi pengubahan kepribadian. Ellis (1976, hlm 89), berpendapat bahwa mungkin tidak ada kondisi tunggal atau sekumpulan kondisi yang memadai dan yang esensial bagi terjadinya suatu perubahan. TRE menandaskan bahwa orang-orang bisa mengalami perubahan melalui banyak jalan yang berbeda seperti memiliki pengalaman-pengalaman hidup yang berarti, belajar tentang pengalaman-pengalaman, orang lain, memasuki hubungan dengan terapis, menonton film, mendengarkan rekaman-rekaman, mempraktekkan pekerjaan rumah yang spesifik, melibatkan diri dalam korespondensi melalui saluran-saluran TRE, menghabiskan waktu sendirian untuk berpikir dan meditasi, dan dengan banyak cara lain untuk menentukan perubahan kepribadian yang tahan lama.
Teknik TRE yang esensial adalah mengajar secara aktif-direktif. Segera setelah terapi dimulai, terapis memainkan peran sebagai pengajar yang aktif untuk mereeduksi klien. Dalam hal ini teknik-teknik yang dapat digunakan dalam terapi ini meliputi diantaranya: pelaksanaan pekerjaan rumah (home task/work) dimana pada pelaksnaannya klien diajarkan dan disuruh untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan rumah yang dapat dilakukannya seperti kedisiplinan waktu, merapihkan tempat tidur, melaksanakan komunikasi dan relasi yang positif (produktif), desensitiasi, pengkondisian operan, hipnoterapi dan latihan asertif.

4. Penerapan TRE pada Terapi Individual
Ellis (1973ª, hlm. 192) menyatakan bahwa pada penanganan terapi individual pada pelaksanaannya diharapkan memiliki satu sesi dalam setiap minggunya dengan jumlah antara lima sampai lima puluh sesi. Dimana pada pelaksanaan terapi ini klien diharapkan mulai dengan mendiskusikan masalah-masalah yang paling menekan dan menjabarkan perasaan-perasaan yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis juga mengajak klien untuk melihat keyakinan-keyakinan irasional yang diasosiasikan dengan kejadian-kejadian pencetus dan mengajak klien untuk mengatasi keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan menugaskan kegiatan pekerjaan rumah yang akan membantu klien untuk cecara langsung melumpuhkan gagasan-gagasan irasionalnya itu serta membantu klien dalam mempraktekkan cara-cara hidup yang lebih rasional.
Setiap minggu terapis memerikasa kemajuan kliennya dan klien secara sinambung belajar mengatasi keyakinan-keyakinan irasionalnya sampai ia lebih dari sekedar menghilangkan gejala-gejala, yakni sampai mereka belajar cara-cara hidup yang lebih toleran dan rasional.

5. Teknik-Teknik Terapi Emotif Rasional (Emotif)
a. Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
b. Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
c. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
Tokoh dalam teori ini adalah Albert Ellis yang dikenal dengan Rational Emotive Therapy (R.E.T). Salah satu teori utama mengenai kepribadian yang ditemukan oleh Albert Ellis dan para penganut Rational Emotive therapy dikenal dengan “Teori A-B-C-D-E). teori ini merupakan sentral dari teori dan praktek RET. Secara umum dijelaskan dalam bagan sebagai berikut :


Komponen Proses
A Activity / action / agent
Hal-hal, situasi, kegiatan atau peristiwa yang mengawaliatau yang mengerakkan individu. (antecedent or activating event) External event
Kejadian diluar atau sekitar individu
iB
Rb Irrational Beliefs, yakni keyakinan-keyakinan irasional atau tidak layak terhadap kejadian eksternal (A)
Rational Beliefs, yakni keyakinan-keyakinan yang rasional atau layak dan secara empirik mendukung kejadian eksternal (A) Self verbalization
Terjadi dalam diri individu, yakni apa yang terus mnenerus ia katakan berhubungan dengan A terhadap dirinya
iC
Rc Irrational Consequences, yaitu konsekuensi-konsekuensi yang tidak layak yang berasal dari (A)
Rational or reasonable Consequences, yakni konsekuensi-konsekuensi rasional atau layak yang dianggap berasal dari rB=keyakinan yang rasional Rational Beliefs, yakni keyakinan-keyakinan yang rasional atau layak secara empirik mendukung kejadian-kejadian eksternal (A)
D Dispute irrational beliefs, yakni keyakinan-keyakinan irasional dalam diri individu saling bertentangan (disputing) Validate or invalidate self-verbalization : yakni suatu proses self-verbalization dalam diri individu, apakah valid atau tidak.
CE Cognitive Effect of Disputing,yakni efek kognitif yang terjadi dari pertentangan (dispating) dalam keyakinan-keyakinan irasional. Change self-verbalization, terjadinya perubahan dalam verbalisasi dari pada individu.
BE Behavioral Effect of Disputing yakni efek dalam perilaku yang terjadi dalam pertentangan dalam keyakinan-keyakinan irasional diatas. Change Behavior, yakni terjadinya perubahan perilaku dalam diri individu

REFERENSI :
Corey, Gerald. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Gunarsa, Singgih D. (2000). Konseling Dan Psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
http://fromapieceofdiary.blogspot.com/2012/04/rational-emotive-therapy-atau-teori.html

Senin, 15 April 2013

Psikoterapi Pendekatan Analisis Transaksional (AT)

Eric Berne (1910- 1970) adalah psikiater kelahiran Kanada. Dengan latihan psikoanalitis, Eric Berne menentang terhadap apa yang dilihat yaitu kekomplekan psikoanalisa. Berne mengerjakan terapi yang gampang untuk dipahami dan dimengerti oleh orang awam. Hasilnya ialah “transactional analysis” atau TA (analisis transaksional).
Berne merumuskan bahwa kepribadian manusia disusun dari “keadaan ego”, yang merupakan susunan intelek dan emosi saling bertalian. Keadaan ego “Orang Tua” terdiri dari nilai dan nasehat (yang baik) orang tua. Keadaan ego “Orang Dewasa” dibentuk oleh kontak obyektif dengan lingkungan. Dan keadaan ego “Anak” berisi aspek kepribadian spontan yang kekanak- kanakan. Kritik dan kekolotan bertalian dengan orang tua.

Berikut Merupakan Konsep-Konsep Utama Analisis Transaksional :
1) Pandangan tentang sifat manusia
AT berakar pada suatu filsafat yang anti deterministik serta menekankan bahwa manusia sanggup melampaui pengondisia dan pemrograman awal. Disamping AT berpijak pada asumsi-asumsi bahwa orang-orang sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan bahwa orang-orang mampu memilih untuk memutuskan ulang. AT meletakkan kepercayaan pada kesanggupan individu untuk tampil diluar pola-pola kebiasaan dan menyeleksi tujuan-tujuan dan tingkah laku baru. Hal ini tidak menyiratkan orangorang terbebas dari pengaruh kekuatan- kekuatan sosial, juga tidak berarti bahwa orang-orang sampai pada putusan hidupnya yang penting itu sepenuhnya oleh dirinya sendiri, tetapi berarti bahwa, bagaimanapun, orang-orang dipengaruhi oleh pengharapanpengharapan dan tuntutan-tuntutan dari orang-orang lain yang berarti, dan putusan-putusan dininyapun dibuat ketika hidup mereka sangat bergantung pada orang lain, tetapi putusan-putusan itu bisa ditinjau dan ditantang dan serta, jika putusan-putusan dininya tidak laik lagi. Bisa dibuat putusan-putusan baru.

2) Perwakilan-perwakilan Ego
Keadaan ego setiap orang mempunyai pembuangan repertoire yang terbatas dari keadaan ego yang dibagi kedalam tiga jenis: yaitu keadaan Orang Tua dipinjam dari figur Orang Tua dan memproduksi kembali perasaan, sikap, tingkah laku, serta tanggapan dari figur tersebut. Keadaaan ego Orang Dewasa berhubungan dengan mengumpulkan dan memproses, serta perkiraan kemungkinan sebagai dasar atas tindakan. Keadaan ego Anak merupaka peninggalan dari masa kanak-kanak individu dan menghasilkan kembali tingkah laku, serta keadaan pikirannya pada keadaan tertentu atau jangka waktu tertentu dari perkembangannya, memakai fasilitas yang ditingkatkan pada pembuangan pada saat dewasa.

3) Skenario-skenario kehidupan dan posisi-posisi psikologis dasar
Skenario-skenario kehidupan adalah ajaran-ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan-putusan awal dibuat oleh kita sebagai anak, yang selanjutnya dibawa oleh kita sebagai orang dewasa. Kita menerima pesanpesan dan dengan demikian kita belajar dan menetapkan – tentang bagaimana kita usia dini. Pesan-pesan verbal dan nonverbal orang tua mengkomunikasika bagaimana mereka melihat kita dan bagaimana mereka merasaka diri kita. Kita membuat putusan-putusan dini yang memberikan andil pada perasaan sebagai pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan “tidak OK”).
Perintah orang tua adalah bagian dari skenario kehidupan kita yang mencakup “harus”, “semestinya”, “lakukan”, “jangan dilakukan”, dan pengharapan-pengharapan orang tua. Kita mempelajari perintah-perintah itu pada usia dini, dan kita juga membuat putusan-putusan tentang bagaimana kita akan merespon orang lain dan bagaiman kita merasakan harga diri kita. Dalam kehidupan dewasa banyak tingkah laku kita yang tumbuh dari bagaimana kita “diskenariokan” dan dari hasil putusan-putusan ini yang kita buat.
Berkaitan dengan konsep-konsep skenario kehidupan, pesan-pesan dan perintah-perintah orang tua, dan putusan-putusan dini itu, adalah konsep dalam AT tentang empat posisi dasar dalam hidup: 1). “Saya OK dan anda OK” 2). “Saya OK dan anda tidak OK” 3). “Saya tidak OK dan anda OK”. 4). “Saya tidak OK dan anda tidak OK”. Masing-masing posisi itu berlandaskan putusan-putusan orang yang dibuat sebagai hasil dari pengalaman dini di masa kanak-kanak. Jika seseorang telah membuat suatu putusan, maka dia pada umumnya akan bertahan pada putusannya itu kecuali jika ada campur tangan (terapi atau kejadian tertentu) yang mengubahnya. Posisi yang sehat adalah dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya Ok dan Anda OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya OK dan Anda tidak OK adalah posisi orang-orang yang memproyeksikan masalah-masalahnya kepada orang lain dan mempersalahkan kepada orang lain. Ia adalah posisi yang arogan yang menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dari penyingkiran diri.
Saya tidak OK dan Anda OK adalah posisi orang yang mengalami depresi, yang merasa tak kuasa dibanding dengan orang lain, dan yang cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain ketimbang keinginannya sendiri. Saya tidak OK dan Anda tidak OK adalah posisi orang-orang yang menyingkirkan semua harapan, yang kehilangan minat hidup, dan melihat hidup sebagai tidak mengandung harapan.

4) Kebutuhan manusia akan belaian
Model aslinya adalah bahwa orang tua yang secara fisik membelai bayinya. Dalam teori AT sebuah belaian merupakan bagian dari suatu perhatian yang melengkapi stimulasi yang optimal kepada individu. Belaian ini merupakan kebutuhan dalam setiap interaksi sosial dan menyehatkan. Belaian ini tidak hanya dibutuhkan dan terjadi pada anak akan tetapi juga pada masa dewasa dan belaian yang diterima atau yang diberiakn akan menguatkan posisi hidup seseorang dan lebih jauh akan memperkuat naskah, fungsi ego, transaksi dan permainanpermainannya.

5) Permainan-permainan yang kita mainkan.
Para pendukung AT mendorong orang-orang untuk mengenali dan memahami perwakilan-perwakilan ego-nya. Alasannya adalah dengan mengakui ketiga perwakilan ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan-putusan Anak yang telah usang dan dari pesan-pesan Orang Tua yang irasional yang menyulitkan kehidupan mereka. AT mengajari orang bagaimana yang sebaiknya digunakan untuk membuat putusanputusan yang penting bagi kehidupannya. Di samping itu, para tokoh AT mengungkapkan bahwa orang-orang bisa memahami dialog internalnya antara Orang Tua dan Anak. Mereka juga bisa mendengar dan memahamihubungn mereka dengan orang lain. Mereka bisa sadar akan kapan mereka harus terus terang dan kapan mereka harus berbohong pada orang lain.
Dengan menggunakan prinsip-prinsip AT, orang-orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya, dan mereka bisa merubah respon-respon belaian di negatif kepada positif. Mereka juga bisa memberi belaian yang juga mereka butuhkan. Dan jika mereka enggan melakukannya, mereka bisa memastikan bahwa Orang Tua pengritik mereka mendikte mereka agar mereka “jangan” tergila-gila pada diri sendiri. Pendek kata, salah satu sasaran AT adalah membantu orang-orang agar memahami sifat transaksitransaksi mereka dengan orang lain, sehingga mereka bisa merespon orang lain secara langsung, meyeluruh dan akrab. Dari situ kecenderungan kepada permainan bisa dikurangi.
AT memandang permainan-permainan sebagai penukaran belaianbelaian yang mengakibatkan berlarut-larutnya perasaan-perasaan tidak enak.
Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Akan tetapi, orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan menciptakan jarak diantara mereka sendiri dengan menginpersonalkan pasangannya. Transaksi itu sekurang-kurangnya melibatkan dua orang memainka peranan. Transaksi-transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar bahwa dirinya berada dalam permaianan dan kemudian memutuskan untuk tidak lagi memainkannya. Jadi, langkah pertama untuk membatalkan transaksi permainan adalah menyadari sifat halus permainan. Permainan-permainan yang umum meliputi “Saya yang malang”, “Pahlawan”, “Ya, tapi”, “Jika bukan untuk kamu”, “Lihat apa yang kamu lakukan sehingga aku berbuat !”, “Terganggu”, “Kegaduhan”, dan “Si Tolol”. Para orang tua sering mengunakan serangkaian permainan untuk mengendalikan anaknya, dan anak membalas dengan permainanpermainan yang bahkan lebih berkembang; buktinya, anak-anak sangat ahli dalam menemukan permainan-permainan guna mengindari tugas-tugas. Masalah yang ditimbulkan oleh permainan-permainan itu adalah motif yang tersembunyi tetap terpendam, dan para pemain memperoleh perasaan tidak OK.

Berikut bentuk-bentuk analisis transaksional
Setiap apa yang dikerjakan dan apa yang dikatakan inividu yang satu denga yang lain disebut transaksi. Transaksi dapat terjadi secara verbal (transaksional) dan transaksi non verbal (transaksi psikologik) yang terjadi dalam transaksi yang terselubung.
Ada tiga bentuk transaksi dalam kaitannya denga interaksi yang terjadi antara dua individu, yaitu:
a. Transaksi-transaksi komplementer (saling mengisi)
Transaksi ini dapat terjadi jika antara stimulus dan respon cocok, tepat dan memang yang diharapkan, sehingga transaksi ini akan berjalan lancar.
b. Transaksi silang
Transaksi itu terjadi jika antara stimulus dan respon tidak cocok atau tidak sebagaimana yang diharapkan dan biasanya komunikasi atau interaksi ini akan terganggu.
c. Transaksi terselubung
Transaksi ini terjadi jika antara dua status ego beroperasi bersamasama. Biasanya dapat dirasakan meliputi dewasa diarahkan ke dewasa, akan tetapi meyembunyikan suatu pesan yang sebenarnya. Misalnya dewasa ke anak, atau orang tua ke anak.34
Berikut merupakan dasar dan tujuan terapi
Dasar tujuan dari AT adalah membantu pihak klien dalam rangka membuat keputusan baru. Yaitu tentang tingkah lakunya sekarang yang diarahkan pada kehidupannya, caranya dengan jalan membantu klien untuk mendapatkan kesadaran tentang bagaimana klien menghadapi masalahnya yang berkaitan dengan kebebasan memilih dan memberikan pilihan untuk menentukan cara hidupnya.
Berikut teknik-teknik terapi analisis transaksional
1) Analisis strutural
Analisis struktural adalah suatu cara yang dapat menjadikan individu sadar tentang isi dan fungsi dari status egonya (orang tuadewasa dan anak). Di dalam AT, klien belajar bagaimana mengidentifikasi status egonya. AT di sini membantu klien untuk menyelesaikan kembali pola-pola yang individu rasakan mengganggu, kemudian klien disuruh untuk menyatakan keluar status egonya.
2) Metode belajar
Oleh karena AT mendasarkan pada aspek kognitif, maka proses belajar mengajar merupakan dasar dari pendekatannya. Anggota kelompok AT diharapkan akan kenal dengan analisis strukural dan menguasai dasar dari status ego orang tua, dewasa dan anak.
3) Kursi kosong
Kursi kosong adalah suatu prosedur yang sesuai analisi struktural. Bagaimana kursi kosong itu dijalankan ? Umpamanya seorang klien mengalami kesulitan dalam menghadapi boss-nya (ego Orang Tua). Klien diminta untuk membayangkan bahwa seseorang tengah duduk di sebuah kursi dihadapannya dan mengajaknya berdialog. Prosedur ini memberikan kesempatan pada klien untuk menyatakan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan sikap-sikapnya selama ia menjalankan peran-peran perwakilan-perwakilan egonya. Klien tidak hanya mempertajam kesadarannya, dalam kasus ini ego Orang Tuanya, tetapi juga kedua ego lainnya (Anak dan Orang Dewasa) yang biasanya memiliki ciri-ciri tertentu dalam hubungannya dengan keadaan yang dibayangkan. Teknik kursi kosong bisa digunakan oleh orang-orang yang mengalami konflikkonflik internal yang hebat guna memperoleh fokus yang tajam dan pegangan yang konkret bagi upaya pemecahan.
4) Permainan peran
Prosedur AT dapat juga digunakan dengan teknik-teknik psikodrama atau role playing. Di dalam terapi kelompok situasi-situasi di dalam role playing dapat melibatkan anggota yang lain. Kemungkinan yang terjadi anggota kelompok yang lain menggunakan status ego tertentu yang berkaitan dengan masalah dengan klien dan klien berbicara dengan anggota tersebut. Kemungkinan dalam psikodrama ada anggota yang menggunakan status ego tertentu dan tidak mau berubah, maka dalam situasi ini klien dapat memberikan reaksinya dalam tingkah laku yang ditampakkan dalam kelompok
5) Family Modelling
Ini merupakan suatu teknik lain yang dapat digunakan untuk analisis struktural, terutama bagi klien yang selalu menggunakan status ego tertentu. Didalam teknik ini klien disuruh untuk membayangkan yang melibatkan banyak individu, mungkin yang berhubungan dengan pengalaman masa lalu atau dirinya; misalnya dirinya sebagai direktur, produser atau aktor. Klien menetapkan situasi dan menggunakan anggota lain dari kelompoknya sebagai anggota keluarga. Kemudian dari analisis didiskusikan dan dievaluasi dengan kesadaran yang penuh atas situasi yang spesifik dan arti dirinya.
6) Analysis of Ritual and Past Time
Analisis permainan merupakan aspek yang penting dalam mengetahui transaksi yang sebenarnya dengan orang lain. Di dalam hal ini perlu diobervasi dan diketahui bagaimana permainan dimainkan dan belaian apa yang diterima, bagaimana keadaan permainan itu, apakah ada jarak dan apa diiringi dengan keakraban.






sumber :
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1-2005-mahfudzfau-484-BAB2_410-1.pdf

Senin, 01 April 2013

PERSON-CENTERED THERAPY (CARL ROGERS)

Ni Ketut Budiartini
3PA01/14510946
PSIKOTERAPI

Carl Rogers terkenal sebagai seorang psikolog dengan pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered atau person-centered therapy ). Rogers kemudian menyusun teorinya dengan pengalamannya sebagai terapis selama bertahun-tahun. Teori Rogers mirip dengan pendekatan Freud, namun pada hakikatnya Rogers berbeda dengan Freud karena Rogers menganggap bahwa manusia pada dasarnya baik atau sehat. Dengan kata lain, Rogers memandang kesehatan mental sebagai proses perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan, dan persoalan kemanusiaan lain dipandang sebagai penyimpangan dari kecenderungan alamiah..
Teori Rogers didasarkan pada suatu "daya hidup" yang disebut kecenderungan aktualisasi. Kecenderungan aktualisasi tersebut diartikan sebagai motivasi yang menyatu dalam setiap diri makhluk hidup dan bertujuan mengembangkan seluruh potensinya semaksimal mungkin. Jadi, makhluk hidup bukan hanya bertujuan bertahan hidup saja, tetapi ingin memperoleh apa yang terbaik bagi keberadaannya. Dari dorongan tunggal inilah, muncul keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan lain yang disebutkan oleh psikolog lain, seperti kebutuhan untuk udara, air, dan makanan, kebutuhan akan rasa aman dan rasa cinta, dan sebagainya.

1. BIOGRAFI SINGKAT CARL ROGERS

Nama : Carl Rogers
Lahir : 8 Januari 1902 Oak Park, Illinois, Amerika Serikat
Wafat : 4 Februari 1987 San Diego, California, Amerika Serikat
Warga negara : Amerika Serikat
Bidang : Psikologi
Alma mater : Teachers College, Universitas Columbia
Penghargaan : Penghargaan untuk Distinguished Scientific Contributions to Psychology (1956, APA); Award for Distinguished Contributions to Applied Psychology as a Professional Practice (1972, APA); 1964 Humanist of the Year (American Humanist Association)


2. CIRI-CIRI PERSON-CENTERED THERAPY
Ciri-ciri person centered therapy atau client centered therapy Carl Rogers (dalam gunarsa,1996) dalam bukunya “Counseling and Psychotherapy” menjelaskan mengenai ciri-ciri dari client centered therapy sebagai berikut:
a. Perhatian diarahkan kepada pribadi klien dan bukan kepada masalahnya. Tujuannya bukan memecahkan suatu masalah tertentu tetapi membantu seseorang untuk tumbuh sehingga ia bisa mengatasi masalah baik masalah sekarng maupun masalah yang akan datang dengan cara yang lebih baik dan lebih tepat.
b. Hal yang kedua ialah penekanan lebih banyak terhadap faktor emosi daripada terhadap faktor intelektual. Dalam kenyataannya, banyak perbuatan yang dipengaruhi oleh emosi daripada oleh pikiran artinya seseorang bisa mengerathui bahwa suatu perbuatan sebenarnya tidak baikjadi secara rasional, intelektual, ia mengetahui itu dan tahu pula bahwa ia tidak boleh melakukan itu namun kenyataannya lain.
c. Hal yang ketiga memberikan tekanan yang lebih besar terhadap keadaan yang ada sekarang daripada terhadap apa yang sudah lewat atau terjadi.
d. Hal yang keempat ialah penekanan hubungan terapuetik itu sendiri sebagai tumbuhnya pengalaman. Di sini seseorang belajar memahami diri sendiri, membuat keputusan yang penting dengan bebas dan bisa sukses berhubungan dengan orang lain secara dewasa.
e. Proses terapi merupakan penyelarasian antara gambaran diri klien dengan keadaan dan pengalaman diri yang sesungguhnya
f. Klien memegang peranan aktif dalam konseling sedangkan konselor bersifat pasif-reflektif


3. TUJUAN PERSON-CENTERED THERAPY
Secara umum tujuan dari konseling ini adalah untuk memfokuskan diri klien pada pertanggungjawaban dan kapasitasnya dalam rangka menemukan cara yang tepat untuk menghadapi realitas yang dihadapi klien (Corey, 1986) atau dengan kata lain membantu klien agar berkembang secara optimal sehingga mampu menjadi manusia yang berguna. (Sukardi, 1984).
Sedangkan secara terinci tujuannya adalah sebagai berikut :
a. Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.
b. Menumbuhkan kepercayaan pada diri klien, bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengambil satu atau serangklaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain.
c. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain, dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.
d. Memberikan kesadaran kepada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup sosial budaya yang luas, walaupun demikian ia tetap masih memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri.
e. Menumbuhkan suatu keyakinan kepada klien bahwa dirinya terus tumbuh dan berkembang (Process of becoming). (Sukardi. 1984)
Tujuan dari pendekatan terapi secara personal mempunyai hasil berbeda-beda pada setiap orangnya tergantung pada pendekatan masing-masing. Tujuan dari pendekatan ini agar klien dapat mendapatkan tingkat kebebasan dari yang lebih tinggi dan integritas. Metode ini difokuskan pada satu orang, tidak dengan diskusi masalah secara berkelompok. Roger (1977) tidak percaya terapi ini dapat memecahkan masalah. Sebaliknya metode ini terapi ini untuk membimbing klien agar klien dapat meningkatkan kemampuannya agar dapat memecahkan masalah sekarang dan yangg akan datang.
Roger (1961) menulis bahwa manusia yang mengikuti psikoterapi selalu bertanya ''bagaimana saya bisa menemukan jati diri saya sendri, bagamana saya bisa menjadi sesuatu yng sangat saya inginkan, bagamana saya bisa melupakan masalalu saya dan menjadi diri saya sendiri''. Tujuan yang sudah ditekankan diatas adalah untuk mendisain suatu iklim yang kondusif agar dpt membantu individu menjadi orang yang beguna. Sebelum klien bergerak menuju tujuan terapi ini mereka harus melepas topengnya terlebih dahulu, hal ini dilakukan agar mereka dapat besosialisasi dengan masyarakat. Klien datang untuk mengetahui apa yang telah hilang dari kehidupannya dengan menggunakan facades. Agar sesion terapi menjadi suatu terapi yg aman mereka harus menyadari kemungkinan-kemungkinan lain baik atau buruk.

4. TEHNIK TERAPI
a. Penekanan awal pada refleksi perasaan
Roger menekankan pada pemahaman klien, ia juga berpendapat bahwa sikap relasional therapist dengan klien merupakan jantung atau pusat dari proses perubahan tersebut. Rogers beserta lainnya mengembangkan pendekatan the person centered yang pada dasarnya adalah pernyataan ulang yang sedrhana dari apa yang dikatakan klien.
b. Evolusi metode person centered
Filosofi the person centered di dasarkan pada asumsi bahwa klien memiliki akal untu bergerak positif tanpa bantuan konselor. Salah satu hal utama dimana person centered therapy berkembang adalah keragaman, inovasi, dan individualisasi dalam prakteknya ( cain, 2002a). cain (2002a, 2008) percaya bahwa penting bagi therapist untuk memodifikasi gaya terapi untuk mengakomodasikan kebutuhan spesifik setiap klien. Dalam jurnal yang ia tulis tentang person centered therapy, cain berkata “ pemikiran saya telah berkembang dan sekarang termasuk integrasi person centered, eksistensial, gestalt, dan konsep pengalaman serta respon terapi. Kgunaan diri saya adalah ketika saya dapat melahirkan aspek untuk memungkinkan adanya pertemeuan atauperjumpaan terhadap klien saya”. Dan hari ini yang mempraktekkan pendekatan person centered menunujukkan kemajuan baik dalam teori, prakte maupun gaya pribadi seseorang.
c. Peran penilaian
Penilaian sering di pandang sebagai prasyarat untuk proses tritmen. Beberapa kesehatan mental menggunakan berbagai procedure penilaian termasuk diagnostic, identifikasi kekuatan klien dan kewajiban pengerjaan test. Bukan lagi jadi pertanyaan tentang apakah penting penilaian dimasukkan dalam praktek terapi tetapi tentang bagaimana melibatkan klien semaksimal mungkin dalam proses penilaian tersebut.
d. Penerapan filosofi dari pendekatan the person centered
Pendekatan the person centered telah diterapkan untuk bekerja individu, kelompok maupun keluarga. Pendekatan the person cetered juga telah terbukti sebagai terapi yang layah dan lebih berorientasi, filosofi dasar dari the person centered memiliki penerapan untuk pendidikan SD hinga lulus.
e. Aplikasi untuk krisis intervensi
Pendekatan the person centered terutama berlaku dalam krisis intervensi seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit, peristiwa bencana dan kehilangan orang yang dicintai. Dalam krisis intervensi seseorang yang mengalaminya butuh dorongan motivasi dari orang-orang sekitarnya, kepedulian dan berusaha untuk menempatkan posisinya. Meskipun kehadira dan kontak psikologis dengan orang yang peduli dapat membawa banyak perubahan baik, namun dalam situasi tersebut seorang therapist perlu menyediakan struktur dan arah yang lebih baik.
f. Aplikasi untuk kelompok konseling
Pendekatan the person centered menekankan peran unik dari kelompok konselor sebagai fasilitator dan bukan pemimpin. Fasilitator harus menghindari membuat komentar nterpretatif karena komentar tersebut cenderungmembuat diri kelompok sadar dan memperlihatkan proses yang terjadi.


Referensi
Corey, G. (2009). Theoryand practice of counseling and psychotherapy. USA: Thomson Books.
Ivey, A. E., D'Andrea, M., Ivey, M. B., & Simek-Morgan, L. (2009). Theories of conseling dan psychotherapy. Canada: Pearson Education, Inc.